Rabu, 30 Juni 2010

LAA ILAAHA ILLALLAH ~ by m iman taufiqurrahman


 by: M. Iman Taufiqurrahman

Firman Allah SWT:Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mumin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (QS. 47:19)

Wazir Abu Mudzaffar dalam kitabnya Al-Ifsoh berkata: “SYAHADAT [PERSAKSIAN] “Laa Ilaaha Illallah” (TIADA TUHAN SELAIN ALLAH) , MENUNTUT KEPADA YANG BERSAKSI UNTUK MENGILMUI MAKNA “Laa Ilaaha Illallah” INI, SEBAGAIMANA FIRMAN ALLAH DALAM qs 47:19. [1]



“LAA ILAAHA ILLALLAH” adalah “kalimah Tauhid” yang menjadi dasar tegaknya aqidah seorang muslim. Ia juga merupakan “kalimah Toyyibah” (kalimah yang baik) [QS 14:26]. Seperti “pohon yang baik”, Yaitu kalimah yang akarnya kuat menghunjam kedalam bumi dan batangnya menjulang tinggi kelangit serta senantiasa berbuah setiap musim.


MAKNA ILAH

“ILAH” berasal dari akar kata “aliha – Ya’luhu – Ilaahan”, artinya kecenderungan terhadap sesuatu. “ILAH” secara semantiq (bahasa) dapat berarti kecenderungan dan kerinduan seseorang kepada sesuatu yang ia cintai, dengan suatu harapan mendapat pertolongan dan perlindungan darinya dengan melakukan pengabdian untuknya”. [2]

Ibnu taimiyyah berkata: “AL_ILAH” artinya adalah “Al-Ma’bud”(yang di Ibadahi) Al-Muthoi (yang ditaati). Karena sesungghnya Al-Illah itu Ma’luh (yang dianggap Tuhan) dan Ma’luh itu yang berhaq di Ibadahi. Dia harus bersifat dengan sifat-sifat yang semestinya, yaitu dicintai dengan puncak kecintaan dan di taati dengan puncak ketaatan”.(3)



Abu Abdillah Al-Qurthubi menafsirkan Laa ilaaha illallah dengan “Laa Ma’buda Illa Huwa” (Tidak ada yang diIbadahi selain Dia)(4)

Ibnu Qoyyim berkata:” Al-Ilaah yaitu dimana hati merasa merendah kepada-Nya dalam bentuk Mahabbah (kecintaan) , Mengagungkan, memohon pertolongan, memuliakan, membesarkan, tunduk, takut, mengharap dan Tawakkal”(5)

Az-Zamakhsyari berkata: “ Al-Illah termasuk dari isim Ajnas (nama jenis), seperti manusia dan kuda. (dimana Al-Illah itu) digunakan untuk nama semua Ma’bud (yang di Ibadahi) baik terhadap (Illah) yang benar maupun yang Bathil, namun (penggunaannya) terkenal untuk Ma’bud yang benar”[6]. Jadi pada intinya, para ulama sepakat mengartikan “Illah” dengan pengertian “Ma’bud” (yang di Ibadahi). Ini Artinya, Al-Illah adalah objek pengabdian (Ibadah) dan darma Bakti manusia, dan Alloh adalah Ilahul Haq (Illah yang sebenar-benarnya) dan Ilahul Wahhid (Illah yang Esa). Hal ini sesuai dengan konsep Laa ilaaha illalloh (tiada ilah / Tuhan selain Alloh).

Karena Al-Illah adalah Al-Ma’bud (yang di Ibadahi), dan menurut ibnu katsir ibadah itu meliputi 3 hal, yakni berkumpulnya 3 kesempurnaan: (1).Kaamalul Mahabah (kesempurnaan kecintaan, (2). Kaamalul Khudlu’ (kesempurnaan ketundukan-kepatuhan), (3) Kaamalul Tadzallul (kesempurnaan rasa rendah diri) konsekwensinya: kemana tiga kesempurnaan sikap itu diarahkan, kesitulah dia ber-Illah (Tuhan).

MAKNA LAA ILAAHA ILLALLOH

Dalam kalimat Laa ilaaha illalloh, terkandung dua makna penting[8]:
1. Nafi (penolakan) seluruh bentuk Uluhiyyah (hak pengabdian) dari selain Alloh
2. Itsbat (menetapkan) Uluhiyyah (hak pengabdian Hamba) bagi Alloh yang Esa.

Musyahid (yang bersaksi) bahwa “ Tiada Ilah selain Alloh” dituntut untuk berani mengatakan “Tidak” terhadap segala bentuk Ilah (Tuhan) selain Alloh, dalam arti menolak, mengkufuri dan tidak mau kompromi terhadap segala bentuk Ilah (Tuhan) selain Alloh.

Dan dalam waktu yang bersamaan ia dituntut untuk berani mengatakan “Ya” terhadap Alloh, dalam arti siap setia, taat dan mengabdi hanya pada Alloh.

Firman Alloh SWT: “ Dan Kami telah utus pada setiap ummat seorang Rosul agar mereka beribadah (mengabdi) kepada Alloh dan menjauhi thoguth” (Q.S: 16:36)

Pengabdian Total (Q.S: 15:99) dan murni hanya pada Alloh (QS 39:2, 4:36), adalah bukti nyata pengamalan Laa ilaaha illalloh.

Kalimat tauhid ini dimulai dengan ungkapan “Laa” yang artinya “Tidak” dengan tiga muatan makna essensial yang terkandung dalam ungkapan “Laa” (Tidak) terhadap segala bentuk Ilah (Tuhan) selain Alloh, yaitu:
1. Nafy (menolak), tidak mengakui ilah selain Alloh, bahwa Alloh saja yang benar yang lain tidak (QS 31:30), maka turunannya hanya hokum / undang-undang Alloh yang haq (benar) dan diakui, selain itu tidak (QS 5:49-50)
2. Barro (berlepas diri), tidak ikut serta dalam tatanan peraturan atau system (prodak) ilah selain Alloh (60:4)
3. Shodama (siap menghancurkan), tidak bershabat dan tidak mau kompromi dengan segala bentuk Ilah selain Allah (60:4)

Kalimat tauhid ini juga dipungkasi dengan ungkapan “Illa” yang artinya”Hanya”, dengan tiga muatan makna essensial yang terkandung dalam ungkapan “Illa”, Hanya Alloh satu-satunya Ilah yang Haq (benar), yaitu:
1. Mahabbah, cinta sejati sepenuh jiwa kepada Alloh SWT (QS 2:165)
2. Khudlu, Tunduk patuh setia pada titah perintah Alloh SWT (QS 33:36)
3. Tadzallul, Berendah diri tiada arti dihadapan Alloh SWT semata


LOYALITAS DAN INDEPENDENSI

Salah satu konsekwensi dari Laa ilaaha illalloh (tauhid) adalah menegakkan Loyalitas (al-Wala’) dan independensi (Al-Barro). Kekeliruan menempatkan loyalitas dan independensi, dalam analisa tauhid akan sangat patal kejadiannya, bisa-bisa ia berada diluar jalur ke tauhidan.

Konsep Al-Wala’ (loyalitas) dan Barro (independensi) adalah suatu konsep terpenting dalam ajaran Islam yang wujud dari konsekwensi Laa ilaaha illalloh. Dimana konsep ini merupakan salah satu ciri khas Aqidah Islam. Tidak sempurna aqidahnya kecuali dengan menegakkan Al-Wala’ Wal Barro.

Dari segi bahasa Al-Wala’ artinya adalah kecintaan, kedekatan, setia, memprioritaskan dan membela (menolong), atau dalam kata lain dapat diartikan dalam satu kata, yaitu “Loyalitas”.

Sementara Al-Barro dari segi bahasa bermakna Kebencian, jauh dan permusuhan atau kita ringkaskan dalam arti satu kata yaitu”Independensi”(pemutusan hubungan / berlepas diri).

Al-Wala’ (loyalitas) bagi seorang muslim hanya berhak diarahkan kepada Alloh, Rosul-Nya dan orang yang beriman yang menegakkan Sholat, mengeluarkan Zakat serta ia tunduk patuh pada Alloh (QS 5:55).

Sementara Al-Barro bagi seorang muslim wajib diarahkan kepada segala bentuk ilah selain Alloh dan kepada orang-orang kafir, musyrik dan munafiq (QS 60:4)

Haram hukumnya bagi seorang muslim mengarahkan wala’nya kepada non muslim dan musuh-musuh Alloh, tindakan seperti ini akan merusak aqidah dan cenderung membawa pelakunya kearah kemurtadan.

Adapun bentuk Muwallah (kerjasama) yang haram dilakukan seorang muslim terhadap non muslim diantaranya[9]:
1. Mengangkat orang-orang kafir-musrik dan munafik sebagai pemimpin (QS 9:23, 5:51, 5:57)
2. Memberikan ketaatan, bantuan, pertolongan dan ikatan penuh (seumur hidup) dengan orang-orang kafir (QS 59:11). Termasuk kedalam Wala’ jenis ini ialah tindakan politisi yang mendukung, mengangkat dan membela orang kafir, musyrik dan munafik, baik sebagai individu, kelompok atau partai. Juga termasuk dalam kategori ini, tindakan orang-orang yang menjadi anggota atau simpatisan yang mendukung dan setuju pada suatu partai, organisasi atau lembaga sesat yang tegak diatas landasan selain Islam.
3. Menyampaikan rahasia orang-orang mu’min kepada orang-orang kafir (QS 60:1)
4. Cinta dan berkasih sayang terhadap Orang Kafir (QS 58:22), artinya lebih memprioritaskan kepentingan pihak musuh Alloh dari pada kepentingan kaum Mu’min.
5. Duduk semajelis dengan orang kafir dan munafiq dengan kerelaan, dan mendengarkan percakapannya yang memperolok Al-Qur’an, serta berada tetap dalam Majelis tersebut tanpa membantah atau menampakkan kemurkaan, atau keluar dari Majelis tersebut (QS 4:140)
6. Ketaatan kepada orang kafir baik secara individu maupun organisasinya(QS 33:48, 68:8-15, 18:28, 26:151-152)
7. Tasyabbuh, meniru atau menyerupai orang kafir dalam bidang aqidah dan ibadah (QS Al-Kaafiruun). Sabda Rosululloh SAW:”Barang siapa yang meniru suatu kaum, maka ia adalah bagian dari kaum itu” (HR Ahmad, Abu Daud dan Thobroni).
8. Menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia (QS 3:118)
9. Berhukum memakai hukum dan undang-undang Orang-orang kafir yang tidak merupakan hukum Alloh (QS 4:51, 2:101-102)




_____________________________
1. FATHUL MAJID (hlm. 52)
2. Meluruskan Tauhid (hlm. 53)
3. Fathul Majid (hlm. 53)
4,5,6, Meluruskan Tauhid (hlm. 53)
7. Tafsir Ibnu Katsir (hlm. 24)
8. Kitabu Qaulu Sadied (hlm. 37)
9. a- Al-Wala
b- Majalah Al-Muslimun
Read More »»»

Minggu, 27 Juni 2010

Fitrah Manusia ~ by m iman taufiqurrahman

by: m iman taufiqurrahman

~ Pengertian fitrah ~


Fitrah adalah bahasa arab, yang arti asalnya adalah “menciptakan”, seperti dalam QS 35:1, disana Allah sebagai “FAATIRU samawati wal ardhi” (Pencipta langit dan bumi).

Dalam kamus Lisanul Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah satu makna ‘fitrah’ dengan arti (Al-Ibtida wal ikhtiro / memulai dan mencipta). Sehingga dapat ditarik pengertian bahwa FITRAH adalah penciptaan awal atau asal kejadian. FITRAH adalah kondisi "default factory setting", suatu kondisi awal sesuai desain pabrik.

Sebagai ilustrasi misalnya suatu barang, sebut saja “gelas”. Gelas pada awalnya diciptakan (dibuat) dengan tujuan sebagai alat minum, maka fitrah-nya gelas adalah sebagai alat minum. Si pembuat gelas (pabrik) pasti telah m
emilih bahan, proses dan desain produknya sesuai dengan tujuan ia membuatnya. Oleh karena itu maka gelas itu sangat cocok dan pas dipakai sebagai alat minum karena sesuai dengan fitrahnya.

Pertanyaan berikutnya, apakah gelas itu bisa dipakai sebagai alat mandi?. Jawabnya tentu bisa. Tetapi yang perlu diperhatikan, pasti tidak nyaman memakainya dan si gelas itu akan cepat rusak.

~ Fitrah manusia ~

Allah telah menciptakan manusia dengan tujuan agar manusia menjadi Hamba Allah yang pandai mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT. Firman Allah SWT: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51:56).

Allah Al-Khaliq (Pencipta) dan Al-Mushowwir (Pendesain) , pasti telah mendesain penciptaan manusia baik dari bahan dan prosesnya, sedemikian rupa agar hasil akhirnya lahir suatu makhluk manusia yang bisa mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT. Jadi fitrahnya manusia adalah mengabdi ataui beribadah kepada Allah SWT.

Karena fitrahnya manusia adalah mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT, maka manusia dengan struktur jasmani dan rohaninya pasti bisa dipakai untuk mengabdi (ibadah) kepada Allah. Rohani dan jasmani manusia pasti cocok dan pas dip
akai untuk
beribadah. Sebaliknya jika dipakai maksiat (membangkang) kepada Allah pasti tidak nyaman, dan dipastikan pasti bakal cepat rusak dan celaka. Sungguh kecelakaan manusia adalah karena penyimpangan dari “FITRAHNYA”.

Seandainya manusia telah lama dan jauh menyimpang dari fitrahnya maka kadang manusia telah merasa nyaman dengan kemaksiatan. Tetapi yang perlu dicatat itu hanyalah sementara karena pada ujungnya pasti bakal rusak / celaka karena penyimpangan dari fitrahnya. Firman allah: Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. 6:44)
Read More »»»